Dianggap Mahal, Yogyakarta Mulai Ditinggal Turis Asing


Yogyakarta - Selain Bali, destinasi lain yang ramai dikunjungi turis adalah Yogyakarta. Namun, beberapa tahun terakhir pariwisata Yogyakarta malah menurun. Harga tiket masuk kawasan wisata yang mahal pun jadi salah satu penyebabnya. Hal ini dirasakan langsung oleh Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita), Chapter DIY. "Daya saing pariwisata Yogya sudah mulai kami rasakan menurun dalam beberapa waktu terakhir ini," kata Sekjen Asita Chapter Yogyakarta, Hendro Listiyanto dalam rilis kepada detikTravel, Selasa (22/1/2013).



Menurutnya, hal ini dilihat dari menurunnya minat wisatawan, khususnya mancanegara untuk berkunjung ke Yogyakarta. Para pelaku industri pariwisata di Kota Gudeg ini pun sudah mulai merasakan, kalau Yogyakarta bukan lagi destinasi wisata kedua setelah Bali. "Kunjungan wisatawan India, Korea Selatan, dan Rusia meningkat ke Bali tapi mereka tidak masuk ke Yogyakarta," katanya. Ketua Asita Chapter DIY Edwin Ismedi Himna juga berpendapat, gejala penurunan daya saing pariwisata Yogyakarta salah satunya disebabkan mahalnya harga paket wisata ke Yogyakarta. "Harga-harga tiket masuk ke daya tarik wisata kita mahal, Borobudur misalnya saat ini mencapai USD 20 (Rp 193.000)/orang. Ini bukan harga yang rasional," katanya.

Selama ini, tambah Edwin, wisman memilih Bali sebagai destinasi utama mereka. Ketika sampai di Pulau Dewata itu mereka diberi pilihan paket wisata optional. Beberapa di antaranya adalah Yogyakarta, Tanah Toraja, dan Lombok. "Faktanya hampir tidak ada yang memilih Yogyakarta karena harganya yang paling mahal dibandingkan destinasi optional lainnya," lanjut Edwin. Pihaknya meminta para pengelola destinasi wisata sekaligus para pembuat kebijakan untuk duduk bersama dan melibatkan pelaku industri ketika memutuskan kebijakan yang terkait dengan sektor pariwisata. "Menaikkan harga tiket masuk juga harus melibatkan industri pariwisata. Ini semua demi daya saing pariwisata Yogyakarta yang lebih baik," tutupnya.
sumber 

Biaya Hidup Mahasiswa di Yogyakarta Meningkat
Selasa, 25 September 2012, 15:12 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Biaya hidup mahasiswa di Yogyakarta mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Kenaikan dipicu oleh besarnya kenaikan biaya makanan, minum dan pondokan. Demikian hasil survei yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY bekerjasama dengan Pusat Studi Ekonomi, Keuangan dan Industri UPN Veteran Yogyakarta. Kenaikan biaya hidup ini berdasarkan hasil survei tahun 2012 yang dibandingkan dengan hasil survei tahun 2008. "Biaya hidup untuk Strata 1 tahun 2008 sebesar Rp 1.160.800, sedang tahun 2012 sebesar Rp 1.742.640. Pemicu kenaikan biaya makanan, minuman dan pondokan," kata H Ardito Bhinadi, ketua tim peneliti di Yogyakarta, Selasa (25/9).

Dijelaskan Ardito, ada tiga komponen biaya hidup yang mengalami kenaikan cukup tinggi sehingga membuat biaya hidup naik. Yaitu pemondokan/kos-kosan sebesar empat persen, makanan dan minum tiga persen. "Lebih dari 50 persen pengeluaran mahasiswa digunakan untuk biaya makan, minum, pondokan dan transportasi," katanya. Sedang item kebutuhan lain yang harus dicukupi mahasiswa di antaranya, telepon, internet, kesehatan, rekreasi/hiburan, kebutuhan harian, fotokopi, alat tulis, buku pelajaran, lain-lain.

Berdasarkan asal mahasiswa, mahasiswa Sulawesi menempati urutan terbanyak pengeluarannya yaitu sebesar Rp 2.617.900 setiap bulannya. Disusul mahasiswa Kalimantan sebesar Rp 2.134.600, Indonesia Timur Rp 2.050.100, dan mahasiswa asal Pulau Jawa Rp 1.614.944. Dalam mencukupi kebutuhan makan, sebanyak 38 persen mahasiswa memilih warung makan. Kemudian makan di warung tenda sebanyak 32 persen, dan masak sendiri ada 32 persen. Mahasiswa yang masih tinggal bersama orang tua ada 12 persen.

Sarana transaportasi yang digunakan untuk beraktivitas sepeda motor ada 80 persen, menggunakan mobil hanya satu persen dan menggunakan bus umum hanya dua persen. Sebanyak 62 persen sepeda motor tersebut dibawa dari daerah asalnya dan 38 persen dibeli di Yogyakarta. Hal ini yang membuat di Yogya banyak plat nomor kendaraan non AB. Sedang untuk mencari informasi, mahasiswa memilih menggunakan internet. Ada 79 persen yang menggunakan internet untuk menambah pengetahuan, mengerjakan tugas-tugas kuliah. Penggunaan televisi untuk mencari informasi hanya 17 persen, koran dan majalah tinggal dua persen dan radio hanya satu persen. "Ada peningkatan akses internet dari 54 persen (2008), menjadi 79 persen," ujarnya.

Untuk mengisi waktu luang, mahasiswa menggunakan wisata alam, ada 25 persen. Tempat-tempat lain yang dikunjungi nonton film atau ke mall sebanyak 11 persen, main game 11 persen, wisata kuliner 11 persen, olahraga juga 11 persen, dan tinggal di pemondokan atu pulang ke rumah orangt ua sebanyak 18 persen. Hasil survei ini juga menunjukkan adanya perubahan referensi untuk menghabiskan waktu luang. Tahun 2008, lebih banyak ke malla, kini mereka lebih suka menikmati wisata alam.

Kondisi ini menurut Pimpinan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DIY, Mahdi Mahmudy, keberadaan mahasiswa di Yogyakarta dapat menggerakan perekonomian rakyat. Di antaranya, melalui sektor kuliner, pemondokan dan lain-lain. Sementara Kasiyarno, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) DIY, mengkuatirkan jika hasil survei tersebut dipublikasikan bisa mengurangi minat para orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka. "Selama ini sudah terbangun image bahwa kuliah di Yogya murah," kata Kasiyarno yang juga Rektor UAD ini.
sumber

Biaya Hidup Mahasiswa Yogyakarta Naik 50%
Selasa, 25 September 2012 17:53 wib

YOGYAKARTA – Biaya hidup mahasiswa di Yogyakarta melonjak cukup tajam. Untuk jenjang sarjana strata (S-1), kebutuhan hidupnya mencapai Rp1,74 juta atau meningkat 50 persen dibanding periode 2008. Selain untuk memenuhi kebutuhan pondokan dan konsumsi, biaya rekreasi dan hiburan juga cukup tinggi. Mahasiswa banyak memberikan kontribusi bagi pendapatan domestic regional bruto (PDRB) DIY. Ketua Pusat Studi Ekonomi keuangan dan Industri LPPM UPN Veteran Yogyakarta, Ardito Bhinardi, berujar, kenaikan biaya mahasiswa ini terjadi di semua jenjang studi, baik Diploma, S-1 ataupun di jenjang S-2. Untuk program Diploma IV, naik dari Rp1,20juta per bulan pada 2008 menjadi Rp1,64 juta. Sedangkan S-1 dari Rp1,16 juta per bulan menjadi Rp1,74, dan S-2 dari Rp2,18 menjadi Rp2,37 juta. "Kenaikan ini dipicu kenaikan biaya makan minum dan pondokan," kata Ardito pada paparan survei Biaya Hidup Mahasiswa DIY pada 2012, yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia Perwakilan Yogyakarta bersama dengan UPN Veteran Yogyakarta, Selasa (25/9/2012)

Kenaikan mencolok juga terjadi pada variabel biaya rekreasi dan hiburan, naik dari Rp80 ribu menjadi Rp138 ribu. Selain itu juga biaya handphone, transportasi dan kebutuhan pendidikan seperti alat tulis dan buku. Internet juga menjadi variabel utama yang diperlukan mahasiswa. Menurut Ardito, biaya hidup mahasiswa asal Sulawesi paling tinggi dianding daerah lain. Setiap bulannya, kebutuhan mahasiswa mencapai Rp2,61 juta. Mahasiswa Kalimantan menghabiskan Rp2,13 juta per bulan, Indonesia Timur Rp2,05 juta, dan Sumatera Rp1,8 juta. Untuk mahasiswa asal Jawa paling rendah, hanya sekira Rp1,6 juta. "Mungkin banyak warga Sulawesi yang kaya, sedangkan di sini biaya hidup lebih murah," tuturnya.

Sementara itu, Peneliti Senior Bank Indonesia Yogyakarta Djoko Raharto, mengatakan peran mahasiswa ini sangat sentral dalam perekonomian di DIY. Setiap bulannya, para mahasiswa ini mengeluarkan biaya hidup hingga Rp423,8 miliar. Biaya ini memberikan kontribusi terhadap PDRB DIY sekira 9,82%. "Mahasiswa ini banyak memberikan peluang usaha, dari kuliner, jasa hingga sektor ekonomi lainnya," jelasnya.
sumber

-------------------------

Kalau turis asing dan lokal serta mahasiswa luar Jogja pada menjauhi kota budaya dan pelajar ini, alamat akan berdampak luar biasa bagi penduduknya. Harap diketahui saja, kota ini sebagian terbesar andalan pendapatan penduduknya adalah dari pedagangan dan jasa yang berkaitan dengan dunia pendidikan (khususnya Perguruan Tinggi) serta turisme. Kalau mereka lari karena mahal, alamat pendapatan penduduknya akan mengalami penurunan kesejahteraan dibanding sekarang ini.

Khusus untuk tempat tujuan studi di Perguruan Tinggi. selain disebut-sebuit sebagai kota yang mulai mahal untuk studi, kota Jogja juga mulai ditinggalkan orang tua calon mahasiswa yang berasal dai luar Jogjakarta akibat imej buruk yang berkembang di masyarakat selama ini, bahwa kehidupan muda-mudi dan mahasiswa di kota itu sangat bebas, terutama dalam pergaulan sex bebas.

0 komentar:

Posting Komentar

    Blogroll

    About